Selasa, 26 Januari 2016

Menggapai Mimpi di Puncak Rinjani (Part 2)


Sekitar pukul 1 dini hari kami bangun. Mempersiapkan diri untuk memulai pendakian ke puncak. Cuaca cerah waktu itu. Tapi angin berhembus kencang, dingin serasa menusuk tulang. Jam menunjukkan jarumnya di angka 01.30, kami memulai pendakian. Tantangan terbesar menuju puncak Rinjani adalah angin yang berhembus sangat kencang, ditambah medan yang sedikit berpasir. Segala sesuatunya harus benar-benar dipersiapkan. 


Matahari mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur, tapi perjalanan kami masih setengah. Setelah istirahat dan sempat tertidur beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan. Tapak demi tapak melangkah melewati jalan berpasir bercampur kerikil. Waktu menunjukkan pukul 7.30 saat saya menginjakkan kaki di puncak Rinjani. Hanya kami bertiga yang sampai dipuncaknya. Dua teman saya tidak dapat melanjutkan perjalanan dan menunggu ditengah. Hanya kata syukur yang dapat terucap dari mulut dan hati saya. Ini bukan tentang pencapaian dari sebuah tujuan, ini adalah hadiah dari sebuah mimpi dan penantian panjang. Sebuah mimpi lama yang baru terwujud, mimpi yang saya yakini pasti akan terwujud akhirnya terwujud. Tentang bayangan Rinjani yang hanya ada dalam pikiran, akhirnya semua jelas tergambar dihadapan saya. Pesona dan keindahannya tidak dapat saya ucapkan dengan kata-kata. Semua hanya masalah waktu.

Puncak 3.726 mdpl



Setelah puas menikmati keindahan Rinjani dari puncak, kami turun untuk kembali ke tenda. Belum puas dengan keindahannya, perjalanan turun kita lalui dengan santai dan tidak terlalu buru-buru. Menurut saya Rinjani terlihat indah dari semua sisi.

Beruntung barang-barang yang kami tinggalkan di tenda tidak ada yang hilang satupun. Ternyata di Rinjani sering terjadi kehilangan barang-barang milik pendaki, seperti kompor, baju dan lainnya. Kecurigaan saya dan pendaki lain adalah porter yang menjadi pelakunya. Karena siapa lagi yang akan melakukan itu disaat semua pendaki naik ke puncak dan hanya porter yang menunggu di tenda. Sungguh keterlaluan menurut saya, apakah mereka tidak berpikir dampaknya bagi pendaki yang kehilangan. Beruntung tenda kami berdiri jauh dari kebanyakan tenda yang lainnya. Itulah salah satu kenapa kita harus menggunakan jasa porter disana. Cerita ini baru saya dengar setelah saya sampai dibawah.

Malam di Plawangan Sembalun

Niatnya mau langsung melanjutkan perjalanan turun ke Segara Anak, tapi apalah daya raga ini terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya kami sepakat untuk bermalam lagi di Plawangan. Langit cerah malam ini, tanpa diiringi suara desahan lagi, karena tidak ada tenda yang berdiri berdekatan dengan tenda kami. Keindahan yang sempurna.

Lanjut Part 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar